Hari ini, udara terasa sangat panas. Kipas angin buthut tak mampu membuat dingin ruangan.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam. Monggo masuk, Mas!” sapaku pada tamu itu.
“Silahkan
duduk. Ada perlu apa, Mas?”
“Saya Slamet
Setiono, dulu murid SD ini. Saya sekarang tergabung di FLP. Bu Nif ada, Pak?”
Jawabnya sambil bertanya.
“Ada,
di atas ngajar anak-anak. Oh ya, FLP niku nopo, nggih?” Sambil mesam mesem, saya tanya dia.
“FLP
itu Forum Lingkar Pena, Pak. Saya mau menghibahkan buku untuk sekolah
ini. Judulnya Prejengane Kutho Suroboyo.”
Singkat cerita, setelah dia pulang,
saya baca buku itu. Ada hal yang menarik dari buku ini. Buku ini adalah kumpulan tulisan anak-anak muda Surabaya tergabung
dalam Forum Lingkar Pena (FLP) yang mengulas tradisi, asal usul, makanan khas,
permainan, tarian dan aspek lain tentang Surabaya yang selama ini tak diketahui publik.
Beberapa tradisi dan kearifan lokal yang ditulis dalam buku
tersebut seperti Tradisi Rebo Pungkasan, Jurang Kuping - Kupinge Sak Jurang, Pasar
Maling – Malinge Wes Insyaf Rek, Iwak Peyek - Iwak Pitik, Unjung-unjung Golek
Sangu Riyoyo, Uniknya Topeng Muludan, Sepo Sepi (ditulis Slamet Setiono) dan
masih banyak lagi. Total ada 82 tradisi atau kearifan lokal yang dihimpun dalam
buku ini.
Buku
ini sekaligus menunjukkan tak sedikit dolanan
dulu sangat ramah lingkungan, berbanding terbalik dengan permainan zaman
sekarang yang tergantikan oleh teknologi digital.
Penggunaan
bahasa Suroboyoan di seluruh tulisan memang disengaja untuk menghadirkan kesan
jenaka. Tak jarang pembaca akan banyak menemukan bahasa sehari-hari Arek
Suroboyo yang lucu dan penuh banyolan. Pembaca akan dibuat mesam-mesem, bahkan tertawa ngakak.
---------------------------------
Orang
Surabaya memang berbeda. Setiap lawuh
disebut iwak. Jadi jangan heran kalau
di Surabaya iwak itu banyak sekali
spesiesnya. Selain iwak mujaer dan bandeng, ada juga iwak bebek, iwak tempe, iwak soto, iwak
krupuk, bahkan iwak sambel. Ada sedikit lelucon yang bisa peno simak.
Wak Kaji budhal-mulih kerjo
numpak sepeda montor. Tutug prapatan, sepedae mandheg soale lampune lagi abang.
Onok arek cilik ujug-ujug nyedhek.
“Paklik, Sampeyan tak
bedheki. Nek sampeyan gak iso njawab, aku kekono dhuwik sewu, yo.”
“Walah, bedhekane arek cilik
ae. Yo, opo pertanyaane?”
“Iwak opo sing nang ndunyo
iki mek ono rong werno, putih karo kuning?”
Wak Kaji muikir. Wedi kalah
mungsuh arek cilik. Gak pekoro kalah, tapi isine iku, lho. Masio nek menang yo
tetep ae gak bangga. Lha, mungsuhe jik bayi.
“Opo jawabane, Lik? Selak ijo
iki lampune.”
“Yo wis, gak ngerti. Opo jawabane?”
Wak Kaji ngelungi dhuwik sewu.
“Iwak endhog. Suwun yo, Lik.”
Arek cilik mau wis mlayu
tuku es cao. Wak Kaji jik ndlahom nang ndhukur sepeda.
---------------------------------
Itu adalah sekelumit kisah yang ada di buku ini.
Selamat membaca, Rek!